Rabu, 10 Juli 2013

HADITS DAN ORIENTALIS



HADITS DAN ORIENTALIS
I.       PENDAHULUAN
Hadits dalam agama Islam menempati posisi yang kedua sebagai sumber hukum Islam, oleh karena itu keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hadits memiliki tiga fungsi utama yang berhubungan dengan al-Quran, yaitu bayan ta’qid terhadap ketentuan yang ada dalam al-Quran, bayan tafsir sebagai penjelas terhadap kemujmalan al-Quran, dan bayan tasyri’ sebagai hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran.
Sentralnya keberadaan hadits nabi membuat banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan dan mengetahui kualitas hadits yang berhubungan dengan kehujahan hadits tersebut. Ternyata bukan hanya orang muslim, banyak musuh-musuh Islam seperti para orientalis, yangberupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits yang bertujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil.
Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Sampai pada masa belakangan ini mereka mulai tertarik dengan kajian Hadits Nabawi.
Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadits sangat berbeda dengan studi di Timur Tengah.Studi hadits di Timur Tengah dan juga di Indonesia menekankan pada bagaimana seseorang melakukan takhrij hadits dan syarh (penjelasan) hadits sehingga dapat diketahui keasliannya dan kandungan makna dari hadits tersebut.
Adapun di Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan penanggalan hadits untuk menaksir sejarahnya dan bagaimana melakukan membangun sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam.Model studi orientalis Barat kebanyakan berupa kritik sejarah, dalam bidang hadits setidaknya ada tiga orang kalangan orientalis sebagai tokoh Hadits Critism (kritik hadits) adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa pengertian hadits menurut orientalis, pandangan orientalis terhadap hadits tersebut dan bantahan ilmuan hadits terhadap kritik hadits yang dilakukan orientalis. Pemaparan selanjutnya akan dijelaskan pada bagian makalah ini selanjutnya.
II.         PERMASALAHAN
A.    Apakah  pengertian hadits, orientalisme, dan orientalis?
B.     Bagaimana pandangan tokoh-tokoh orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits?
C.     Bagaimana bantahan ilmuan hadits terhadap pandangan dan karya-karya orientalis?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits, Orientalisme,dan Orientalis
Mengulas sedikit tentang materi pertama tentang pengertian hadist, agar lebih paham dan mempermudah dalam memahami bahasan orientalis hadits . Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.[1] Berdasarkan pengertian tersebut bisa dikatakan kalau hadits adalah reportase dari sunah-sunah nabi.
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa prancis, yang secara harfiah bermakna timur, secara geografis bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa timur. Kata isme (Belanda) ataupunism (Inggeris) menunjukkan  pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah suatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.[2]
Kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam juga disebut orientalisme. Sehingga yang dijadikan obyek studi gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.
Secara analitis pengertian orientalisme disimpulkan pada tiga hal, keahlian mengenai wilayah Timur, metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.
Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).
Orientalis adalah adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[3]Sehinggaorientalis bisa didefinisikansebagai segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.
B.     Pandangan Tokoh-Tokoh Orientalis tentang Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk memutar balikkan kebenaranhadits secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu;
1.      Mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara serius, objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk menyudutkan Islam.
2.      Banyaknya kontradiksi atau pertentangandalam materi corpus[4] hadits sendiri.
Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits yaitu pelacakan isnad hadits, kritik matan, dan metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits, terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad.
Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu :
a.       Aspek Pribadi Nabi Muhammad
Argumen pertama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
b.      Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada sahabat.
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah.
Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
c.       Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah dipertanyakan, hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.
·         Tokoh-Tokoh Orientalis
1.      Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar,Mesir. Seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini.Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.
Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.[5]
Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan paham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits).[6] Pada tahun 1890 Ignaz Goldziher menerbitkan hasil penelitiannyatentang hadits Nabawi dengan judul Muhammadanische Studies, di mana ia membantah otentisitas apa yang disebut hadits oleh orang-orang Islam. Menurutnya hadits Nabawi tidak lebih dari produk perkembangan keadaan sosial politik Islam pada waktu itu. Ia juga menuduh bahwa yamg disebut saanad adalah bikinan orang-orang belakangan.[7]
Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits  merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan. Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadits  sudah ada pada masa Nabi, Sahabat ataupun masa tabi’in. Hadits  tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits  Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits  yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:
“Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”. Kata-kata “ahadits ” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti hadits -hadits  yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits-hadits  Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits  yang belum pernah ada pada saat itu.
2.      Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.[8]
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[9]
Pemikiran Josepht Schahct atas hadits  banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.[10]
Joseph Schacht menyusun beberapa teori untukmembuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:
1.      Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi.Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2.      Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits  dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits  itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits  tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits  itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3.      Teori Common Link
Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.
3.      Gauther H.A Juynboll
Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935,  sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits. Beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence.
Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu.
C.     Bantahan Ilmuan Hadits
Kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam,  Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.
Bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut.
1.      Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang ada pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para sahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.[11]
2.      Bantahan untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi penyusunan teorinya. Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad Abu Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H).
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.[12]
3. Bantahan untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.

IV.      KESIMPULAN
Di dunia Islam maknaorientalis mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya[13], orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.
Hadits adalah reportase dari sunnah nabi.Ketiga orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw., menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan.
Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai pada peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil menyakinkan tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.

V.         PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak menunjukkan pada kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semaoga makalah ini bermanfaat. Amin. . .


















DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin , M. Amin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI.
Sou’yb, M. Joesoep, Orientalisme dan Islam,  Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Yaqub, Ali Mustofa, Imam Bukhori dan Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag
Hafsa Mutazz,  Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.
Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internetwebsite:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57




[1]Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadits, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada), 2003, hal.3
[2]H.M. Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1990, hal. 1
[3] Ibid.
[4]badan (manusia atau hewan yang mati),  himpunan karangan dengan tema, masalah, pengarang, atau bentuk yang sama, kumpulan ujaran yang tertulis atau lisan yang digunakan untuk menyokong atau menguji hipotesis tentang struktur bahasa,  korpus luteum, suatu jaringan dalam ovarium

[5]Hafsa Mutazz,  Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.
[6]M. Amin Djamaluddin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI, hal 5, 7, 25.
[7] H. Ali Mustofa Yaqub, MA, Imam Bukhori dan Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1991, hal. 2
[8]Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya
[9]Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag
[10] H. Ali Mustofa Yaqub, MA, op.Cit., hal.2
[11]Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57

[12]Ibid.
[13] Berpusat/berpangkal pada kebudayaan sendiri