I. PENDAHULUAN
Hadits
dalam agama Islam menempati posisi yang kedua sebagai sumber hukum Islam, oleh
karena itu keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hadits memiliki tiga fungsi
utama yang berhubungan dengan al-Quran, yaitu bayan ta’qid terhadap ketentuan yang ada dalam al-Quran, bayan tafsir sebagai penjelas terhadap kemujmalan
al-Quran, dan bayan tasyri’ sebagai
hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran.
Sentralnya
keberadaan hadits nabi membuat banyak penelitian dan kajian-kajian yang
dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan dan mengetahui kualitas hadits
yang berhubungan dengan kehujahan hadits tersebut. Ternyata bukan hanya orang
muslim, banyak musuh-musuh Islam seperti para orientalis, yangberupaya
meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits yang bertujuan untuk
meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil.
Sebelumnya
para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi keislaman secara umum,
seperti bidang sastra dan sejarah. Sampai pada masa belakangan ini mereka mulai
tertarik dengan kajian Hadits Nabawi.
Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadits
sangat berbeda dengan studi di Timur Tengah.Studi hadits di Timur Tengah dan
juga di Indonesia menekankan pada bagaimana seseorang melakukan takhrij
hadits dan syarh (penjelasan) hadits sehingga dapat diketahui keasliannya
dan kandungan makna dari hadits tersebut.
Adapun di
Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan penanggalan hadits
untuk menaksir sejarahnya dan bagaimana melakukan membangun sejarah terhadap
peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam.Model studi orientalis Barat
kebanyakan berupa kritik sejarah, dalam bidang hadits setidaknya ada tiga orang
kalangan orientalis sebagai tokoh Hadits
Critism (kritik hadits) adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A
Juynboll.
Dalam
makalah ini akan membahas tentang apa pengertian hadits menurut orientalis,
pandangan orientalis terhadap hadits tersebut dan bantahan ilmuan hadits
terhadap kritik hadits yang dilakukan orientalis. Pemaparan selanjutnya akan
dijelaskan pada bagian makalah ini selanjutnya.
II.
PERMASALAHAN
A.
Apakah pengertian hadits, orientalisme, dan orientalis?
B.
Bagaimana pandangan tokoh-tokoh
orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits?
C.
Bagaimana bantahan ilmuan hadits
terhadap pandangan dan karya-karya orientalis?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits, Orientalisme,dan Orientalis
Mengulas
sedikit tentang materi pertama tentang pengertian hadist, agar lebih paham dan
mempermudah dalam memahami bahasan orientalis hadits . Hadits adalah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifat beliau.[1] Berdasarkan
pengertian tersebut bisa dikatakan kalau hadits adalah reportase dari
sunah-sunah nabi.
Orientalisme
berasal dari kata orient, bahasa
prancis, yang secara harfiah bermakna timur, secara geografis bermakna
dunia belahan timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa timur. Kata isme (Belanda) ataupunism (Inggeris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah suatu paham atau aliran, yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur
beserta lingkungannya.[2]
Kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang
agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam
juga disebut orientalisme. Sehingga yang dijadikan obyek studi gelombang
pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, mencakup
peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.
Secara analitis pengertian orientalisme disimpulkan
pada tiga hal, keahlian mengenai wilayah Timur,
metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya
terhadap dunia Islam.
Orientalisme
muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang,
sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah
melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).
Orientalis
adalah adalah kata nama
pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan
”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[3]Sehinggaorientalis bisa
didefinisikansebagai segolongan
sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka
yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya,
adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.
B.
Pandangan
Tokoh-Tokoh Orientalis tentang Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi
mereka untuk memutar balikkan kebenaranhadits
secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi
kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu;
1.
Mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan
hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara
serius, objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat
para orientalis untuk menyudutkan Islam.
Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal
umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits yaitu pelacakan
isnad hadits, kritik matan, dan
metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan
tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits, terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad.
Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik
orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka,
yaitu :
a.
Aspek Pribadi
Nabi Muhammad
Argumen
pertama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu
buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis
pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi
tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika
sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak
hal itu tidak layak disebut hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari
status lain seorang Muhammad.
b. Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).
Orientalis
memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli
dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai
kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada sahabat.
Para
orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan
hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang
terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan
waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak
meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka
adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah.
Dalam
daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh
sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu
hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah
selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih
dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan
demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
c. Aspek Matan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli
hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits
mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah
dipertanyakan, hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas
bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak kalau isinya dapat
diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan
hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.
·
Tokoh-Tokoh Orientalis
1. Ignaz Goldziher
Ignaz
Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara
resmi di Universitas al-Azhar,Mesir. Seorang Yahudi yang lahir di Hungaria
1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini.Ia
belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan
belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke
Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada
tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904
menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal
pada 13 November 1921.
Goldziher
melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan
agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba
oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan
lain-lainnya.[5]
Ignaz
Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan paham sesat dalam
Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits).[6]
Pada tahun 1890 Ignaz Goldziher menerbitkan hasil penelitiannyatentang hadits
Nabawi dengan judul Muhammadanische Studies, di mana ia membantah otentisitas apa yang disebut hadits oleh
orang-orang Islam. Menurutnya hadits Nabawi tidak lebih dari produk
perkembangan keadaan sosial politik Islam pada waktu itu. Ia juga menuduh bahwa
yamg disebut saanad adalah bikinan orang-orang belakangan.[7]
Tidaklah
benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang
sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh
perkembangan Islam pada masa kematangan. Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya
keraguan untuk meyakini otentisitas hadits sudah ada pada masa Nabi, Sahabat
ataupun masa tabi’in. Hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa
sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus
aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang
digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah
berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan
hadits yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher
al-Zuhri mengatakan:
“Sesungguhnya
para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah
“memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”. Kata-kata “ahadits ”
dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan
sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti
terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti
hadits -hadits yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits
yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah
para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits-hadits Nabi
yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku.
sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu
telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.
2. Joseph
Schacht
Prof. Dr.
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai
orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa
Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig.
Meskipun ia
seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas
pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis.
Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas
Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh
Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya,
seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu
Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf
al Fuqaha (1933) dan lain-lain.[8]
Karya
tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The
Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian
bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua
karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabawi,
di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan
dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[9]
Pemikiran
Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas
oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika
Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan
bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya
otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.[10]
Joseph
Schacht menyusun beberapa teori untukmembuktikan dasar-dasar pemikirannya
tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:
1. Teori
Projecting Back
Maksud dari
teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan
lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut
hadits Nabi.Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang
berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era
Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan
menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2. Teori E
Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa
bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap
adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits
itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak
pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya
hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common
Link
Teori yang
beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah
hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel
sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari
hadits yang dibawanya.
3. Gauther H.A Juynboll
Juynboll
adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas,
berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak di bangku S1 di
Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits. Beberapa
karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and
Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan
kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari
mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of
Muhammadans Yurisprudence.
Menurut
muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah”
tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll menolak anggapan ini dengan
bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika
“fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah
yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu.
C. Bantahan
Ilmuan Hadits
Kritikan
terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam berdiam
diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori ketiga
orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya
as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib
dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam
bukunya Studies in Early Hadith Literature.
Bantahan
dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah
menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena
argument-argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut.
1.
Bantahan
untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang ada pada
masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka
itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at
Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof.
Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga
ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun
kebenaran materi sejarahnya.Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka
(kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang tidak
konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan
hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah
memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis
itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut
tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan
kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan
qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis
tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik
matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para sahabat dan generasi
sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif
telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga
bertumpu pada matan.[11]
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan
kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi penyusunan teorinya.
Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap
beberapa naskah hadits dengan sanad Abu Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang
ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu
saja.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa
kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan
pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya
dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia
mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu
pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata
tidak bersambung ke Nabi.
Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah
teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis.
Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam
naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh
(w.138 H).
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting
Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan
merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah
masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan
penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah
Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga
bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi
terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw.
sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.[12]
3.
Bantahan untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah
Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah
Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia
pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa
metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Misalnya,
jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi
periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah
diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan
untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri
telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan
implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat
hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat
secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi
seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan
sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti
hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link.
Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak
bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
IV. KESIMPULAN
Di
dunia Islam maknaorientalis
mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian
Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat.
Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya[13],
orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr
dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan
umat Islam.
Hadits
adalah reportase dari sunnah nabi.Ketiga orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki
pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw., menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad
kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan
tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam
masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya
dengan menggunakan kritik matan.
Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber
pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits
disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk
membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada
dasarnya sama yaitu mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi.
Akan tetapi, ada perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher
hanya sampai pada peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact
sudah berhasil menyakinkan tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits
fiqih.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits
untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya
sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk
menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan
neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian
mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami
hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits
tersebut.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini
tidak menunjukkan pada kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semaoga makalah ini bermanfaat. Amin.
. .
DAFTAR
PUSTAKA
Djamaluddin
, M. Amin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI.
Sou’yb,
M. Joesoep, Orientalisme dan Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003.
Yaqub,
Ali Mustofa, Imam Bukhori dan Metodologi
kritik dalam Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Makalah “Kajian
Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag
Hafsa
Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.
Hafsa
Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”,
dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian
Hadits Orientalist”, dalam internetwebsite:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57
[1]Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadits, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada), 2003, hal.3
[2]H.M. Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT
Bulan Bintang), 1990, hal. 1
[3] Ibid.
[4]badan (manusia atau hewan yang
mati), himpunan karangan dengan
tema, masalah, pengarang, atau bentuk yang sama, kumpulan ujaran yang tertulis atau lisan yang
digunakan untuk menyokong atau menguji hipotesis tentang
struktur bahasa, korpus luteum, suatu jaringan dalam ovarium
[5]Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam
internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya.
[7] H. Ali
Mustofa Yaqub, MA, Imam Bukhori dan
Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1991, hal.
2
[8]Hafsa Mutazz, “Sosok
Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya
[9]Makalah “Kajian Sanad Hadis,
antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag
[10] H. Ali
Mustofa Yaqub, MA, op.Cit., hal.2
[11]Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian
Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57
[12]Ibid.
[13]
Berpusat/berpangkal pada kebudayaan sendiri