Rabu, 26 Juni 2013

Dunia Filsafat



Mengenal Ibnu Miskawaih
A.    Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaqub Ibn Miskawaih, adalah seorang filosof muslim yang di anggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. (T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam. Terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah. Tt. hlm 73).[1] Sejarah hidup tokoh ini tidak banyak di ketahui banyak orang, para penulis dalam berbagai literature tidak mengungkapkan biografinya secara rinci (Daud, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984).[2] Akan tetapi, dengan keterbatasan literatur yang ada pemakalah berusaha menggali tentang filosof muslim ini.
Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran Iran) dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah.
Jurzi Zaidan berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah orang majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut, pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhamad.
Mengenai pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat (mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya, karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih Ad-Daulah. Juga akhirnya memperoleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.
Beliau mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika. Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.
Menurut Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan filsafat sejarah.
Beliau bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.[3]
Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan dia mengikuti ethics Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta kembali mengikuti Aristoteles. Pada bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang hampir sama, Tibb al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri, susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di tulis sebuah penjelasan tentang menolak kesedihan. (F M.M. Syarif (ed) A. History of Muslim Philoshopy, Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm 90-96.[4]

B.     Pemikiran Ibnu Miskawaih
Sebagai seorang filosof, Ibnu miskawaih mempunyai bayak pemikiran dan penafsiran, antara lain adalah:
1. Tentang Ketuhanan
Tuhan, menurut miskawaih adalah zat yang tidak berjism, Azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam berbagai aspek, ia tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia ada tanpa diadakan dan adaNya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain membutuhkanNya. Tampaknya pemikiran Ibnu MIskawaih sama denagan pemikiran al-Farabi dan Al-Kindi.Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, prograsi positif. Alasannya prograsi posotif akan menyamakan Tuhan dengan alam. Segala sesuatu di alam ini ada gerakan.
Gerakan tersebut merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula. Ia bukti tentang adanya Tuhan pencipta alam. Pendapat ini berdasarkan pada pemikiran aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula. Sabagai filosofis  releguis sejati. Ibnu Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi ada, karena penciptaan yang suadah ada bahan sebelumnya tidak ada artinya. Disinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa Allah menciptakan alam dari sesuatu yuang sudah ada.



2. Tentang Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu MIskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun Emanasinya berbeda dengan Al-Farabi. Menurut entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah akal aktif. Akal aktif ini tanpa perantara apapun. Ia kadim, Sempurnah  dan Tak berubah. Dari akal inilah  timbul jiwa dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan dan pemancaran yang terus menerus dari Allah  dapat memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan Pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujuan alam ini.
Untuk lebi jelasnya dapat dikemukakan perbedaan Emanasi Antara Ibnu  Miskawah dan Al-Farabi sebagai berikut.
a.  Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadiakan alam ini secara Emanasi dari tiadak menjadi ada. Sementara itu menurut Al-Farabi alam dijadikan tujuan secara pancaran dari bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.  Bagi Ibnu Miskawaih Ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah akal pertama dan akal aktif adalah akal kesepuluh.
Dari uaraian diatas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Miskawaih sejalan dengan pemikiran Guru Kedua, Al-Farabi akan tetapi, dalam penyelesaian  masalah ini lebuh cendrung kepada Al-Kindi dan Teolog Muslim.
Sebagaimana Ikhwan Al-Shafa, Ibnu Miskawaih juga mengemukakan  teori Evolusi, menurutnya alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan dan alam manusia merupakan rentetan yang sambung menyambung. Antara setiap alam tersebut terdapat  jarak waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan terjadi melalui merjan dari alam tumbuh tumbuhan ke alam hewan melalui pohon kurma dan dari alam hewan ke alam manusia melalui kera.

3. Tentang Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur  dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan  yang tidak dapat terbagi bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diaraba dengan panca Indra karena ia bukan jism dan bagian dari jisim.jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya danh memngetahui keaktivitasnya (Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Argumen yang di majukan adakah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan. Jadi Ibnu Miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa tidak dapat di bagi-bagi itu tidak mempunyai unsure, sedangakan unsur unsur hanya terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang sederhana.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indra. Secara tegas menyatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau di indra. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap panca indra, yakni dapat diraba  dan juga tidak dapat di raba. Tentang balasan Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima  balasan di akhirat. Karena menurutnya, kelezatan jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.

4. Tentang Moral atau Akhlak
Ibnu Miskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam islam, filsafat ini selalu dapat perhatian utama, keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran islam dan di kombinasiakan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat yunani dan Persia. Yang di maksud sumber pelengkap dalah sumber lain baru diambil jika sejalan dengan ajaran islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian (Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002).
Akhak menuruit konsep Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang yunani yang mengatakan  bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran dan ajaran islam karena  secara  eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini  dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Karena kebenaran ini tidak dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat sifat yang utama, sifat-sifat ini menurutnya, erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya marah, daya berfikir, dan daya keinginan. Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang tinbul dari jiwa hilm, sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari iffah. Dengan demikian  ada tiga sifat utama yaitu hikmah, berani dan murah. Apabila  ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat utama yang keempat, yakni adil.
Dalam kitab Al-akhlak Ibnu Miskawaih juga memaparkan kebahagian, menurutnya meliputi jasmani dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan Aristoteles. Menurut plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani. Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redsaksi lain selama rohaniyah masih  terikat pada jasadnya, yang selalu menghalanginya mencara hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di capai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagian tersebut berbeda di antara manusia, seperti orang miskin kebahagiaanya  adalah kekayaan, yang sakit pada kesehatan dan lainnya.
Urain di atas adapat dijadikan bukti bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran islam. Sementara gabungan pendapat plato Aristoteles merupakan  pemikiran pelengkap yang ia terima karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

5. Tenang Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat hakikat kebenaran  seperti ini juga  diperoleh oleh para pilosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehnik memperolehnya (Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).
Filosof mendapatkan kebenaran tersebut sari bawah keatas  dari daya indrawi menaik kedaya khayal dan menaik lagi kedaya Fikir yang dapat berhubungan dan menangkap kebenaran  dari akal aktif. Sementara itu  Nabi mendapatkan kebenaran  diturunkan dari atas kebawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah.
Penjelasan diatas dapat dijadikan petunjuk bahwa bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasi antara agama dan filsafat dan keduanya mesti cocok dan serasi, karna sumber keduanya sama. Justru itulah filosof adalah orang yang paling cepat menerima  dan mempercayai apa yang di bawa oleh nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bertolak pada akal fikiran manusia. Namun demikian, tidak berarti manusia tidak membutuhkan nabi karena dengan perantaraan nabi  dan wahyulah manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat, yang dapat menbawa manusia kepada kebahagian.ajaran ini tidak dapat dipelajari oleh manusia  kecuali para pilosof, denmgan kata lain  sangat sedikit kuantitas manusia  yang dapat mencapainya. Hal ini karena filsafat tidak dapat di jangkau oleh semua lapisan masyarakat.[5]

6. Prinsip sejarah
Ibu Miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi. sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[6]

C.     Karya Ibnu Miskawaih
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz al-Asghar (tentang metefisika: ketuhanan, jiwa dan kenabian) kitab Adab al-Arab wa al-A`jam (tentang etika); Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M); Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara); Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik); al-Musthafa (syair-syair pilihan); Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak); al-Jami’ al-Syiar (tentang aturan hidup); Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran); Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak); Kitab al-Asyribah (mengenai minuman); Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq); Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu'ah no. 1463, lembar 57a-59a); Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam raghib majmu‟ah di Istanbul); Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31); Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137); Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667) dan lain-lain (Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hlm 162) Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70). Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa'adah (Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta, Djambatan, cet. I, 2003 hlm 89).[7]


[1] http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB

[4] http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB
[7] http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB