Mengenal Ibnu Miskawaih
A.
Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaqub Ibn Miskawaih,
adalah seorang filosof muslim yang di anggap mampu memadukan dua tradisi
pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India,
Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam,
meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter, sejarawan dan ahli
bahasa. (T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam. Terjemah Muhd. Abd
al-Hadi Abu Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah. Tt. hlm 73).[1]
Sejarah hidup tokoh ini tidak banyak di ketahui banyak orang, para penulis
dalam berbagai literature tidak mengungkapkan biografinya secara rinci (Daud,
Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984).[2]
Akan tetapi, dengan keterbatasan literatur yang ada pemakalah berusaha menggali
tentang filosof muslim ini.
Ibnu
Miskawaih lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran Iran) dan meninggal di
Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih
hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang
besar pemukanya bermazhab Syi‟ah.
Jurzi Zaidan
berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih adalah orang majusi, kemudian memeluk Islam.
Sedangkan Yaqut, pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan
pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam.
Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat
dari nama bapaknya, Muhamad.
Mengenai
pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat
(mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya,
karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama
untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih
terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat
memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih
Ad-Daulah. Juga akhirnya memperoleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.
Beliau
mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai
ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika.
Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan
Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.
Menurut Otto
Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu
Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan
filsafat sejarah.
Beliau
bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir
Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu
Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.[3]
Keahlian
Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan
dalam karya monumentalnya Tahdzib al-al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini
terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang
jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga, yang
merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan
tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan
dia mengikuti ethics Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta
kembali mengikuti Aristoteles. Pada bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan
ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb
al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang hampir sama, Tibb
al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri,
susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di
tulis sebuah penjelasan tentang menolak kesedihan. (F M.M. Syarif (ed) A. History
of Muslim Philoshopy, Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm 90-96.[4]
B.
Pemikiran Ibnu Miskawaih
Sebagai
seorang filosof, Ibnu miskawaih mempunyai bayak pemikiran dan penafsiran,
antara lain adalah:
1. Tentang
Ketuhanan
Tuhan,
menurut miskawaih adalah zat yang tidak berjism, Azali, dan pencipta. Tuhan Esa
dalam berbagai aspek, ia tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia
ada tanpa diadakan dan adaNya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang
lain membutuhkanNya. Tampaknya pemikiran Ibnu MIskawaih sama denagan pemikiran
al-Farabi dan Al-Kindi.Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak
dapat dikenal dengan sebaliknya, prograsi positif. Alasannya prograsi posotif akan menyamakan Tuhan dengan alam. Segala sesuatu di alam ini ada gerakan.
Gerakan
tersebut merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari
bentuknya semula. Ia bukti tentang adanya Tuhan pencipta alam. Pendapat ini
berdasarkan pada pemikiran aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan
yang mengubahnya dari bentuk semula. Sabagai filosofis releguis sejati. Ibnu
Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi ada,
karena penciptaan yang suadah ada bahan sebelumnya tidak ada artinya. Disinilah
letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa
Allah menciptakan alam dari sesuatu yuang sudah ada.
2. Tentang
Emanasi
Sebagaimana
Al-Farabi, Ibnu MIskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan
alam secara pancaran. Namun Emanasinya berbeda dengan Al-Farabi. Menurut
entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah akal aktif. Akal aktif ini
tanpa perantara apapun. Ia kadim, Sempurnah dan Tak berubah. Dari akal
inilah timbul jiwa dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet.
Pelimpahan dan pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara
tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan Pancaran-Nya, maka akan
terhenti kemaujuan alam ini.
Untuk lebi
jelasnya dapat dikemukakan perbedaan Emanasi Antara Ibnu Miskawah dan
Al-Farabi sebagai berikut.
a. Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadiakan alam ini
secara Emanasi dari tiadak menjadi ada. Sementara itu menurut Al-Farabi alam
dijadikan tujuan secara pancaran dari bahan yang sudah ada menjadi ada.
b. Bagi Ibnu Miskawaih Ciptaan Allah yang pertama
ialah akal aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama
ialah akal pertama dan akal aktif adalah akal kesepuluh.
Dari uaraian
diatas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Miskawaih sejalan dengan
pemikiran Guru Kedua, Al-Farabi akan tetapi, dalam penyelesaian masalah
ini lebuh cendrung kepada Al-Kindi dan Teolog Muslim.
Sebagaimana
Ikhwan Al-Shafa, Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori Evolusi, menurutnya
alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan dan alam manusia merupakan
rentetan yang sambung menyambung. Antara setiap alam tersebut terdapat jarak
waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan
terjadi melalui merjan dari alam tumbuh tumbuhan ke alam hewan melalui pohon
kurma dan dari alam hewan ke alam manusia melalui kera.
3. Tentang
Jiwa
Jiwa,
menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan
sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat terbagi
bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diaraba dengan panca Indra karena ia
bukan jism dan bagian dari jisim.jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya danh
memngetahui keaktivitasnya (Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991).
Argumen yang
di majukan adakah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam
waktu yang bersamaan. Jadi Ibnu Miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa tidak dapat
di bagi-bagi itu tidak mempunyai unsure, sedangakan unsur unsur hanya terdapat
pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non
materi yang sederhana.
Dalam
kesempatan lain, Ibnu Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan
pengetahuan panca indra. Secara tegas menyatakan bahwa panca indra tidak dapat
menangkap selain apa yang dapat diraba atau di indra. Sementara jiwa dapat
menangkap apa yang dapat ditangkap panca indra, yakni dapat diraba dan
juga tidak dapat di raba. Tentang balasan Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu
Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan di
akhirat. Karena menurutnya, kelezatan jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang
sebenarnya.
4. Tentang Moral
atau Akhlak
Ibnu
Miskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam
islam, filsafat ini selalu dapat perhatian utama, keistimewaan yang menarik
dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran islam dan di
kombinasiakan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat
yunani dan Persia. Yang di maksud sumber pelengkap dalah sumber lain baru
diambil jika sejalan dengan ajaran islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak
demikian (Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002).
Akhak
menuruit konsep Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku
manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur naluriah dan unsure lewat
kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan
ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang
yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi
Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji
dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini sejalan
dengan pemikiran dan ajaran islam karena secara eksplisit telah
mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan
untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Karena kebenaran ini tidak
dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi
jinak, apalagi akhlak manusia.
Ibnu
Miskawaih juga menjelaskan sifat sifat yang utama, sifat-sifat ini menurutnya,
erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya marah, daya berfikir,
dan daya keinginan. Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang
lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang tinbul dari
jiwa hilm, sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari
iffah. Dengan demikian ada tiga sifat utama yaitu hikmah, berani dan
murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat utama yang
keempat, yakni adil.
Dalam kitab
Al-akhlak Ibnu Miskawaih juga memaparkan kebahagian, menurutnya meliputi
jasmani dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat plato
dan Aristoteles. Menurut plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian
rohani. Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan
jasadnya. Dengan redsaksi lain selama rohaniyah masih terikat pada
jasadnya, yang selalu menghalanginya mencara hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak
akan tercapai. Sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di
capai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagian tersebut berbeda di antara
manusia, seperti orang miskin kebahagiaanya adalah kekayaan, yang sakit
pada kesehatan dan lainnya.
Urain di
atas adapat dijadikan bukti bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar pokoknya
adalah ajaran islam. Sementara gabungan pendapat plato Aristoteles
merupakan pemikiran pelengkap yang ia terima karena tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
5. Tenang
Kenabian
Sebagaimana
Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya
ini dapat memperkecil perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan
dan keharmonisan antara akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah
seorang muslim yang memperoleh hakikat hakikat kebenaran seperti ini
juga diperoleh oleh para pilosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehnik
memperolehnya (Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).
Filosof
mendapatkan kebenaran tersebut sari bawah keatas dari daya indrawi menaik
kedaya khayal dan menaik lagi kedaya Fikir yang dapat berhubungan dan menangkap
kebenaran dari akal aktif. Sementara itu Nabi mendapatkan
kebenaran diturunkan dari atas kebawah, yakni dari akal aktif langsung
kepada nabi sebagai rahmat Allah.
Penjelasan
diatas dapat dijadikan petunjuk bahwa bahwa Ibnu Miskawaih berusaha
merekonsiliasi antara agama dan filsafat dan keduanya mesti cocok dan serasi,
karna sumber keduanya sama. Justru itulah filosof adalah orang yang paling
cepat menerima dan mempercayai apa yang di bawa oleh nabi karena nabi
membawa ajaran yang tidak bertolak pada akal fikiran manusia. Namun demikian, tidak
berarti manusia tidak membutuhkan nabi karena dengan perantaraan nabi dan
wahyulah manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat, yang dapat menbawa
manusia kepada kebahagian.ajaran ini tidak dapat dipelajari oleh manusia
kecuali para pilosof, denmgan kata lain sangat sedikit kuantitas
manusia yang dapat mencapainya. Hal ini karena filsafat tidak dapat di
jangkau oleh semua lapisan masyarakat.[5]
6. Prinsip
sejarah
Ibu Miskawaih
menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah
menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus
mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga
harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya,
sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi.
sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam
pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui
data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan
dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[6]
C.
Karya Ibnu Miskawaih
Jumlah buku
dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua
karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al-Akhlak), diantara
karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz al-Asghar (tentang metefisika:
ketuhanan, jiwa dan kenabian) kitab Adab al-Arab wa al-A`jam (tentang etika);
Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun
369 H/979 M); Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata
mutiara); Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik); al-Musthafa
(syair-syair pilihan); Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak); al-Jami’
al-Syiar (tentang aturan hidup); Tentang pengobatan sederhana (mengenai
kedokteran); Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak); Kitab al-Asyribah
(mengenai minuman); Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq); Risalah fi al-Ladzdzat
wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu'ah no. 1463, lembar
57a-59a); Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas
dalam raghib majmu‟ah di Istanbul); Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah
di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31); Risalah fi Jawab fi
Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan
Mashhad di Iran, I no 43 (137); Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no
7667) dan lain-lain (Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997 hlm 162) Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin
al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam
bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70). Mengenai
urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa
al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis
setelah Tartib al-Sa'adah (Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat Dalam
Islam, Jakarta, Djambatan, cet. I, 2003 hlm 89).[7]
[1]
http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB
[2] http://mandalapratama.blogspot.com/2012/03/ibnu-miskawaih-dan-filsafatnya.html,
diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:56 WIB
[3]
http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/filsafat-islam-ibnu-miskawaih-2.html,
diakses pada tanggal
09 September 2012, 14:18 WIB
[4] http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB
[5] http://mandalapratama.blogspot.com/2012/03/ibnu-miskawaih-dan-filsafatnya.html,
diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:56 WIB
[6] http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/filsafat-islam-ibnu-miskawaih-2.html,
diakses pada tanggal
09 September 2012, 14:18 WIB
[7] http://atullaina.blogspot.com/2012/03/biografi-ibnu-miskawaih.html, diakses pada tanggal 09 September 2012, 13:52 WIB